Tuesday, July 12, 2011

Karena Presiden Bukan Superman oleh Muchlis Hasyim

(Hanya untuk menambah koleksi catatan saja, tak ada muatan politis apalagi ion negative, hanya berharap ada aliran listrik positive :))

Ada satu hal yang agaknya sering kali kita lupakan manakala kita telah melangkahkan kaki hidup di era demokrasi.

Di dalam demokrasi tidak ada Superman, tidak ada individu atau sekelompok individu yang sangat berkuasa dan memiliki otoritas yang tak terbatas sebegitu rupa. Demokrasi mensyaratkan pemahaman hidup dalam kesetaraan, penghormatan pada hukum yang berlaku (rule of law), dan komitmen untuk menegakkan hukum yang disepakati bersama (law enforcement).
Hanya dengan dua elemen penting inilah, tujuan demokrasi, yakni kemakmuran, dapat tercapai. Hanya dengan kesadaran akan kesetaraan pada hak dan kewajiban, rule of law dan law enforcement itulah, demokrasi Pancasila dapat berbuah Indonesia Raya yang sejahtera. Insya Allah.

Carut marut dalam demokrasi seringkali diakibatkan oleh harapan yang terlalu menggebu-gebu karena penderitaan di masa lalu. Kita sering kali keliru, berharap dan mendesak agar pemenang pemilu menyelesaikan begitu banyak hal, termasuk apa-apa yang kita anggap sebagai kekacauan dan pekerjaan di masa lalu yang belum selesai.

Kita berharap terlalu banyak pada seorang Presiden, seolah ia Superman yang begitu berkuasa dan dapat menyelesaikan pekerjaan apapun. Padahal, dalam praktiknya, presiden dan/atau eksekutif hanyalah satu dari empat pilar penting demokrasi.
Masih ada pilar lain yang juga kita tahu memiliki kekuasaan yang walaupun elementer, tetapi sesungguhnya juga terbatas. Ketiga lembaga di luar eksekutif itu adalah legislatif, yudikatif dan, ini yang jangan sampai kita lupakan, pers.

Di luar keempat pilar itupun demokrasi yang sehat membutuhkan civil society yang waras, sehat dan kuat. Civil society yang tidak hanya senang mengeluh dan ingin selalu dilayani, sebaliknya independen, kreatif seperti kata sejarawan Arnold J. Toynbee, dan berorientasi problem-solving.

Demokrasi tidak membutuhkan eksekutif, legislatif, yudikatif dan pers yang rapuh (memiliki kekuasaan yang terbatas bukan berarti rapuh). Juga tidak membutuhkan civil society yang gemar menggerutu (independen dan kreatif tidak sama dengan menggerutu).

Terlalu banyak hal yang harus kita kerjakan agar demokrasi Pancasila ini berbuah Indonesia Raya yang sejahtera. Sementara di sisi lain, kita juga sama-sama tahu bahwa energi dan waktu kita terbatas. Jadi, mengapa tidak dari sekarang kita bekerja berdasarkan prioritas tertentu yang terukur.

Dan lagi, karena demokrasi bekerja dengan sistem yang berorientasi pada public and national interest. Bukan berdasarkan pada personal interest.

Kita hanya bisa menagih apa-apa yang dijanjikan SBY dalam kampanye pemilihan umum. Misalnya dalam hal pemberantasan korupsi. Tagihlah janji itu. Minta agar SBY lebih tegas lagi memerintahkan seluruh aparat negara untuk tanpa pandang bulu dan tebang pilih memberantas korupsi, mengejar koruptor dan terduga koruptor yang kabur ke luar negeri.

Tetapi, jangan minta SBY menyelesaikan persoalan di masa lalu yang lebih diwarnai oleh dendam kesumat.

Coba kita lihat ke belakang. Presiden Sukarno meninggal dunia 41 tahun sebagai seorang tahanan politik. Kekuasaan beliau dicabut melalui Tap MPRS XXXIII/1967 yang tak pernah dicabut sampai sekarang. Padahal, siapa di antara kita yang tidak mengenang keberanian Presiden Sukarno melawan kolonialisme, yang tidak mengenang ketegasannya demi menjaga martabat manusia Indonesia. Presiden Sukarno lah yang berani melawan tata dunia yang tidak berimbang, keluar dari PBB dan menggelar Ganefo sebagai olimpiade tandingan.

Juga lihat Presiden Soeharto yang dengan segala kelebihan dan keterbatasannya berusaha sekuat tenaga melanjutkan cita-cita Bung Karno. Ia mangkat dengan membawa cap koruptor yang dituliskan dalam Tap MPR XI/1999.

Presiden BJ Habibie kita permalukan di sidang DPR/MPR. Padahal dia telah melakukan pekerjaan yang begitu luar biasa untuk menyelamatkan kapal Indonesia yang ketika itu sudah oleng dan hendak karam.
Presiden Abdurrahman Wahid pun kita permalukan, kita olok-olok, sampai-sampai ia terpaksa memperlihatkan dirinya di teras istana hanya dengan mengenakan celana pendek. Juga Presiden Megawati Soekarnoputri yang dikhianati oleh kawan-kawan politiknya sendiri, yang tadinya mendukung dia.

Presiden mana yang bisa menyelesaikan dendam seperti ? 
Menurut hemat penulis, tidak bisa tidak, kita harus menggelar rekonsiliasi nasional untuk menghapuskan beban politik dan psikologis itu sesegera mungkin. Baru setelahnya kita dapat melangkahkan kaki menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan besar demi menyelamatkan masa depan Indonesia Raya.

Karena SBY adalah incumbent, sudah pada tempatnya bila ia yang pertama kali menjadikan ini sebagai wacana. Ajaklah senior-seniornya, dan para pendukung mereka, untuk duduk satu meja. Juga libatkan semua tokoh bangsa, agamawan dan ilmuwan, serta pemuka-pemuka masyarakat lainnya.

Katakan, ini bukan demi 2014 atau apapun yang berkaitan dengan kepentingan politik jangka pendek. Tegaskan, bahwa ini demi Indonesia dan keberlangsungan bangsa Indonesia.

Tidak salah bila pers ikut mendorong dan mendukung gagasan rekonsiliasi nasional itu. Gugah kesadaran semua tokoh nasional dan lokal untuk terlibat aktif dalam rekonsiliasi ini. Ingatkan mereka bahwa sila ketiga Pancasila berbunyi: Persatuan Indonesia. Ingatkan bahwa Pancasila bukan soal hafalan, yang dipuja sebagai barang eksklusif yang tidak punya makna, atau kalaupun bermakna hanya untuk kepentingan kelompok sendiri.

Siapapun di antara mereka yang menolak, itulah musuh Indonesia. Siapapun di antara mereka yang tidak mau rekonsiliasi berarti hanya cinta dan bangga pada kelompoknya saja. Yang tidak mendukung adalah bagian dari masa lalu yang mau menang sendiri dan “menikmati” perpecahan bangsa ini. Mereka yang seperti inilah musuh rakyat.

Dengan demikian pers dapat menjadi co-host rekonsiliasi tersebut. Alangkah bagusnya kalau rekonsiliasi nasional itu bisa digelar pada 17 Agustus 2011. Dengan demikian kita akan semakin cepat bekerja fokus ke arah masa depan.

Kita miris melihat sebagian tokoh bangsa berkumpul di sebuah gedung keagamaan dan menumpahkan semua kesalahan kepada presiden. Ini tanda bahwa ada masalah dalam keyakinan kita terhadap sistem demokrasi. Bukankah demokrasi tidak mengenal Superman?

Mereka lupa bahwa Presiden terpilih ini baru tujuh tahun. Sementara persoalan yang kita miliki sama tuanya dengan usia republik ini. Belum lagi sebagian dari tokoh-tokoh yang berkumpul itu pun dibesarkan oleh masa lalu (baca: persoalan).

Mengapa tokoh-tokoh bangsa itu tidak menyerukan rekonsiliasi ini kepada pengikut mereka dan rakyat banyak. Mengapa mereka lebih mau berbicara tentang masalah yang lebih kecil. Bukankah kita tahu, siapapun Presidennya kalau diminta menyelesaikan dendam mendendam dari lima masa presiden sebelumnya, tidak akan mampu.

Ini belum terlambat. Kita harus segera melakukan rekonsiliasi nasional. Bukan untuk kita, bukan untuk masing-masing kelompok kita. Tetapi untuk seluruh anak cucu kita mendatang.

Mari kita selesaikan masa lalu kita yang kelam ini, yang seolah-olah menjadi kutukan. Apakah kita orang-orang beragama masih percaya pada kutukan. Apakah kita tidak bisa berbuat, atau setidaknya berdoa agar kutukan itu hilang. Apakah doa tokoh agama sudah tidak didengarkan lagi oleh Tuhan, sehingga Tuhan tidak memberikan bantuan lagi pada kita. Kita harus bertanya.

Apakah rekonsiliasi ini penting bagi SBY?

Tentu saja. Secara terbatas SBY pernah mengatakan bahwa dirinya menginginkan moratorium dimulai dari masa pemerintahannya. Ia pernah mengisyaratkan dirinya tidak mempersoalkan bila kasus korupsi sebelum 2004 mendapat perlakuan khusus yang tidak mengabaikan prinsip rule of law dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.

Misalnya, pengusaha yang terlilit kasus BLBI dan kini melarikan diri ke luar negeri bisa kembali pulang dan dihapuskan ancaman hukumannya asalkan mereka menyerahkan, misalnya, 30 persen harta kekayaan mereka untuk negara. Ini juga bagian dari rekonsiliasi nasional.

Uang yang mereka kembalikan itu disetorkan ke Kementerian Keuangan sebagai pendapatan negara dari sektor non-pajak, dan digunakan sepenuhnya untuk menangani masalah kemiskinan yang semakin melebar akhir-akhir ini. Uang sebesar itu dapat digunakan untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat.

Dengan lapangan kerja yang tersedia, kita tidak perlu lagi mengirimkan tenaga kerja, terutama wanita, ke luar negeri. Kalaupun ada yang mencari pekerjaan ke luar negeri, pastikan bahwa mereka adalah tenaga kerja yang memiliki keterampilan yang khas, profesional. Bukan tenaga kerja di sektor domestik.
Menurut catatan, 70 persen dari tenaga kerja asal Indonesia di Arab Saudi adalah pembantu rumah tangga. Mereka inilah yang rentan mendapat perlakuan tak mengenakan dari majikan. Dan ketika melakukan perlawanan, mereka rentan dijerat masalah hukum.

Belum lagi, untuk kasus Arab Saudi, ada perbedaan budaya yang mencolok antara kita dan mereka. Dalam budaya Arab (bukan tradisi hukum Islam), pembantu rumah tangga adalah budak. Dan budak adalah properti atau hak milik yang dapat diperlakukan sesuka hati. Sudah berapa banyak TKI kita yang mengalami nasib seperti Ibu Ruyati yang akhir pekan lalu dihukum mati.

Pemerintah harus menghentikan hal ini dengan tegas. Kemiskinan. Itulah masalah paling besar yang kita hadapi saat ini. Dan sialnya, kemiskinan itu dihasilkan oleh korupsi yang sistemik. Bukan hanya korupsi dalam hal mengambil uang yang bukan miliknya. Tetapi juga dalam hal korupsi kekuasaan.

Kita tahu bahwa tokoh-tokoh kita seringkali berbicara soal kemiskinan. Tapi saat kita datangi rumahnya kita bisa melihat ada tetangga mereka yang tidak punya rumah untuk berteduh. Kalau hujan mereka kehujanan, kalau panas mereka kepanasan. Makan belum tentu.

Elite politik kita bisa membeli mobil mewah, dan mengendarainya dengan bangga. Sementara di sekitar mereka adalah lautan kemiskinan. Rasa-rasanya, hanya di negara ini kemiskinan dan ketamakan dipertontokan sedemikian rupa.

Inilah yang namanya mati rasa. Inilah kelakuan yang umumnya kita temukan di kalangan pengusaha dan pemimpin kita. Percuma kita gembar-gemborkan demokrasi bila ternyata kita masih digelimangi korupsi. Kalau terus begini, rakyat Indonesia lama kelamaan akan tidak percaya lagi pada demokrasi.

Adapun penulis percaya bahwa demokrasi yang genuine adalah jalan keluar yang dapat diharapkan untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang kita hadapi. Demokrasi genuine, demokrasi Pancasila, tidak mengenal Superman, tidak mengenal penggerutu. Demokrasi Pancasila hanya mengenal kerjakeras untuk kesejahteraan Indonesia Raya.
Disunting Ulang oleh Ismail Afriant

0 comments:

 
Design by Original Themes | Bloggerized by Rasaki Dua - Ethnic Promotion | Minangkabau Education Project